Perempuan Dan Literasi : Peran Dari Buaian Hingga Era Digitalisasi Segala Lini

Perempuan Dan Literasi : Dari Buaian ke Era Digitalisasi Segala Lini
Sumber :
  • Yuni Retnowati

Bogor, VIVABogor – Kelekatan perempuan dan literasi bukan lagi menjadi sebuah wacana. Ia menggeliat dan terpampang di dinding sejarah yang tak bisu. Menjadi saksi dan memberikan tanda bahwa perempuan berada pada poros penting berputarnya roda literasi. Tidak hanya pada peradaban lisan, tapi juga tulisan. Sejarah mencatat bagaimana Aisyah RA, istri Nabi, sekian ribu tahun yang lalu telah memberikan warna kuat pada ilmu hukum melalui lebih dari dua ribu hadits yang ia tulis. Banyak kalangan kala itu baik laki-laki juga perempuan belajar padanya. Kita juga memiliki Kartini yang gigih membela hak-hak perempuan untuk tidak lagi buta aksara dan menjadi perempuan yang terdidik dan bermartabat. Dan masih banyak lagi perempuan-perempuan hebat yang berjibaku dalam kemajuan literasi hingga kini, di kancah nasional maupun dunia. 

Istri Ketujuh Presiden Sukarno, Yurike Sanger Berpulang di Usia 81 Tahun

Tak bisa dipungkiri bahwa tentu saja apapun peran perempuan akan melekat dan mengikuti fitrah yang ditetapkan Tuhan padanya. Termasuk perannya dalam literasi. Sebagaimana kita tahu, rahim perempuan adalah tempat utama di mana Tuhan tidak saja menitipkan ruh jiwa, tapi juga menitipkan kata-kata. Mengenalkan tentang sumber nilai paling tinggi dan kebaikan sejati. Janin dapat menunjukkan preferensi terhadap bahasa yang sering mereka dengar dalam kandungan, bahkan setelah lahir. Ini membuktikan bahwa proses belajar dan memori emosional sudah dimulai sejak dalam kandungan. Penelitian menunjukkan bahwa janin mulai dapat mendengar suara ibunya pada usia kehamilan sekitar 18-25 minggu. Suara ibu, termasuk intonasi dan irama bicaranya, adalah suara yang paling jelas didengar oleh janin. Bahkan, janin dapat belajar dan mengenali bahasa yang sering diucapkan oleh ibunya sejak dalam kandungan. Maka tak bisa disangkal bahwa peran pendidikan literasi oleh perempuan harus digagas sejak dalam buaian.

Sejak dulu, dongeng atau kisah dipercaya menjadi metode yang ampuh dalam membangun kesadaran dan sensitifitas terhadap nilai-nilai kebaikan, mencerdaskan nalar, mengasah empati, menggugah kesadaran, dan masih banyak lagi kekuatan dongeng atau kisah. “Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin” (QS Hud: 120). Membacakan kisah - kisah bermakna sangat baik bagi perkembangan anak tidak hanya sebagai penguat nilai pada diri anak tapi juga pembangun bonding. Dari sini kita bisa memulai literasi sejak dini.

Siswa SMPN 4 Bogor Juara BOA 2025 Ciptakan Gula Kulit Pisang Rendah Kalori

Di era digitalisasi yang marak di semua lini kehidupan, selain ada kebaikan di dalamnya, tantangannya pun tidak kalah hebatnya. Kita seperti dihadapkan pada dua mata uang yang harus kita mainkan dengan cantiknya. Arus informasi tanpa batas ini akan memberikan manfaat jika yang diakses adalah konten positif dan sebaliknya. Ada kekhawatiran akan adanya penurunan kognitif pada anak yang populer disebut brain rot. Selain tak kalah seramnya pemberitaan tentang cyber crime yang korbannya adalah anak. Di samping itu, pola pendidikan kita yang belum ramah literasi juga membuat rapot PISA kita masih menjadi PR besar dari tahun ke tahun. 

PISA atau Programme for International Student Assessment, sebuah studi internasional yang menilai kualitas sistem pendidikan dengan mengukur hasil belajar yang esensial untuk berhasil di Abad ke-21, menyatakan hasil PISA tahun 2022, terkait literasi membaca, menunjukkan peringkat Indonesia naik 5 posisi dibandingkan tahun 2018. Kendati demikian, skor yang didapatkan menunjukkan penurunan dan Indonesia masih menduduki posisi 11 peringkat terbawah dari 81 negara yang didata. Banyaknya program literasi juga para pegiat dan pejuang literasi di penjuru pelosok negeri belum mampu membuat nilai rapor literasi kita naik kelas. Lalu bagaimana kita menghadapi keterpurukan literasi ini? 

Lama Tak Terdengar, Sidang Kasus Pagar Laut Desa Kohod Tangerang Baru akan Digelar, Kades Arsin dkk Diadili di PN Tipiko

Tentu saja perempuan bukan seseorang di ruang hampa yang harus menanggung sendiri tanggung jawab untuk menaikkan tingkat literasi bangsa ini. Ada elemen-elemen lainnya yang juga harus menjadi support system yang berkolaborasi memberikan andil. People do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as a result of lifelong personal and community effort. (Lickona, 1992). Manusia tidak secara alami atau spontan tumbuh menjadi orang yang bermoral baik atau menjadi bijaksana. Mereka bisa demikian hanya merupakan upaya seumur hidup individu dan masyarakat. Lalu apa yang bisa menjadi jembatan yang mengantar kita pada tujuan besar terwujudnya mimpi ini?

Penulis berkeyakinan bahwa peningkatan literasi bangsa ini bisa dilakukan salah satunya dengan meningkatkan pembekalan literasi pada perempuan (ibu). Karena literasi ibu mendampingi sejak seorang janin menetap di rahimnya sampai ia dilahirkan dan dibesarkan. Ibu juga diyakini sebagai penyumbang terbesar gen kecerdasan untuk anak. Peneliti Glasgow, Skotlandia, mengambil pendekatan yang lebih manusiawi untuk mengeksplorasi kecerdasan. Sejak 1994 dan dilakukan tiap tahunnya, peneliti mewawancarai 12.686 orang yang berusia 14 sampai 22 tahun. Hasilnya, tim peneliti menemukan prediktor kecerdasan terbaik adalah IQ dari gen sang ibu. Sudah selayaknya pemerintah mengambil peran ini dan menjadi garda terdepan yang memberikan fasilitas untuk peningkatan pemahaman literasi perempuan. 

Banyak cara untuk meningkatkan kemampuan literasi perempuan. Salah satunya, pemerintah bisa memberikan atau mewajibkan program literasi berbasis IT. Sebab, program berbasis IT saat ini dirasa paling praktis. Diketahui, manusia Indonesia sudah melek digital. Bahkan, pengguna gadget jumlahnya terus meningkat dari kalangan menengah ke atas sampai menengah ke bawah. Sebenarnya banyak edukasi yang bisa dilakukan pemerintah melalui digital. Tidak saja tentang literasi tetapi juga edukasi lainnya, misalnya tentang penyuluhan kebersihan, pengelolaan sampah, dan lain-lain. Tema-tema ini bisa mengalihkan perempuan dari program-program yang kurang bermanfaat di gadget-nya. Pelatihan-pelatihan menulis yang saat ini marak ditawarkan di platform online saja mampu menyusun materi-materi pelatihan secara rapi, baik bentuk ppt atau pdf di grup whatsapp, grup telegram, maupun zoom meeting, apalagi pemerintah yang seharusnya punya resource yang lebih banyak lagi. Pasti lebih bisa lagi menyajikan platform pendidikan literasi untuk warganya, khususnya perempuan. 

Diperbanyaknya jumlah perpustakaan tentu saja penting. Tetapi infrastruktur tidak akan termaksimalkan fungsinya tanpa kesadaran literasi yang baik pada warga. Menurut data yang ada, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Tapi tingkat literasi kita tak berbanding lurus dengan peningkatan infrastruktur literasi. Finlandia memiliki banyak perpustakaan umum dan universitas, serta perpustakaan keliling yang menjangkau daerah terpencil. Belanda memberikan formulir keanggotaan perpustakaan bahkan kepada bayi dan buku bacaan kepada keluarga baru. Swedia dan Australia juga memberikan buku kepada keluarga baru. Jepang memiliki kebiasaan unik seperti "tachi yomi" (membaca di toko buku) yang menunjukkan minat baca yang tinggi. Hal ini tenth karena pemerintahnya tidak hanya memberikan fasilitas, tapi juga menumbuhkan kesadaran warga pentingnya membaca.

Peran masyarakat sebagai agen perubahan juga memberi sumbangsih besar. Masyarakat yang baik akan menjadi extended family sesungguhnya bagi kenyamanan dan tumbuh kembang generasi penerus. Saat ini ada program pemerintah yang menurut penulis bisa dikolaborasikan dengan masyarakat. Salah satunya yaitu program Ruang Bersama Merah Putih dari kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Ini merupakan wadah atau tempat belajar di desa-desa dengan inisiatif lokalnya, seperti menggiatkan permainan tradisional, seni, dan budaya, hingga pemberdayaan perempuan. Akan ada juga bantuan buku dan penayangan film-film tentang pahlawan nasional. Untuk para ibu akan ada pelatihan-pelatihan ketrampilan juga bantuan usaha. Dengan memberdayakan masyarakat untuk bersama menghidupkan program ini, maka penulis yakin ini bisa jadi salah satu alternatif bersama solusi menjauhi efek brain rot di era digital. 

Membangun iklim membaca di mana pun juga seharusnya menjadi hal yang tidak sekedar diwacanakan. Orang tua yang membaca akan membuka peluang menghasilkan anak-anak yang membaca. Guru yang membaca akan memotivasi murid membaca. Pejabat yang membaca akan memberikan apresiasi pada warga yang membaca. Dan seterusnya. Sebuah iklim bersama sangat penting diciptakan agar upaya menghidupkan literasi makin kondusif. Apalagi jika lebih jauh negara bisa berperan memberikan apresiasi kepada para penggiat literasi yang mungkin nasibnya sedikit terpinggirkan. Dalam kondisi sulit saja mereka masih berkarya dan membina komunitas-komunitas literasi, apalagi jika mereka diberikan dukungan baik materi maupun moral. Negeri ini berhutang budi pada para guru yang keringatnya ikut menyegarkan tumbuh suburnya peradaban.

Tak ada yang akan dimulai jika kesadaran kita tidak beranjak untuk memberi tanda pada perubahan. Negara besar akan memulai langkah dengan membesarkan pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah undang-undang yang dititipkan pada bangsa ini. Bukan hanya mencerdaskan bangsa, tapi mencerdaskan kehidupannya. Arti yang luas ini harus dimaknai sebagai memberikan ruang hidup di segala sisi baik yang bersifat materi maupun non materi agar keseimbangan peradaban bisa kita capai. Literasi bukan sekedar peradaban kata, ia adalah poros yang membangun rasa dan karsa.