Mencampur Faktor Dingin Dan Panas Dalam Makanan, Termasuk Thibbun Nabawi?
- Yuni Retnowati
Bogor, VIVA Bogor – Dalam pengobatan, dikenal berbagai metode untuk menyembuhkan satu penyakit. Mencampur faktor dingin dan panas dalam makanan adalah konsep yang dikenal dalam berbagai tradisi pengobatan, termasuk pengobatan tradisional Arab-Islam (Tibb Nabawi), pengobatan Cina, dan bahkan dalam beberapa pendekatan herbal dan Ayurveda.
Dalam Islam, konsep ini juga sering dikaitkan dengan keseimbangan tubuh (mizaj) — yaitu sifat panas, dingin, lembab, dan kering yang ada dalam setiap makanan dan tubuh manusia.
Dalam Tibb Nabawi (Pengobatan Nabi), setiap makanan memiliki 'sifat'. Ada panas (hararah) dan dingin (barudah). Kadang juga disertai dengan sifat lembab (ratubah) atau kering (yubus). Tujuan mencampur panas dan dingin untuk menyeimbangkan makanan agar tidak menyebabkan gangguan pada tubuh. Untuk menyesuaikan makanan dengan kondisi cuaca dan tubuh.
Jika seseorang memiliki tubuh bersifat 'panas', maka sebaiknya menghindari makanan terlalu panas dan memilih makanan yang sejuk atau netral.
Jika cuaca sedang panas, lebih baik mengonsumsi makanan “dingin” agar tidak memperparah kondisi tubuh. Contoh campuran makanan panas dan dingin yaitu daging kambing/mentimun, daging kambing/salad mentimun, jahe/kayu manis, susu/timun, susu jahe hangat, kurma/semangka. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Tibb Nabawi menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memakan kurma (panas) dengan mentimun (dingin) untuk menetralisir efek panas kurma. Ini adalah bukti bahwa Rasulullah memperhatikan keseimbangan panas dan dingin dalam makanan.
Kenapa Penting Menyeimbangkan? Jika terlalu banyak makanan maka panas bisa menyebabkan sariawan, demam, jerawat, marah berlebih. Dingin bisa menyebabkan lemas, pencernaan lambat, lendir berlebih.
Apa yang harus kita lakukan dalam menyeimbangkan faktor panas dan dingin?