Wayang Golek, Sejarah Panjang Boneka Kayu dari Tanah Sunda
Bogor, VIVA Bogor – Wayang golek, kesenian tradisional khas Jawa Barat, bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan. Boneka kayu tiga dimensi ini telah menjadi bagian penting dari budaya Sunda sejak ratusan tahun silam, bahkan kini diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
Sejarah mencatat, wayang golek mulai berkembang pada abad ke-16 bersamaan dengan masa penyebaran Islam di tanah Sunda. Para wali, seperti Sunan Gunung Jati, memanfaatkan wayang golek sebagai media dakwah. Dengan lakon yang diambil dari cerita Ramayana, Mahabharata, hingga kisah rakyat, pesan-pesan agama dan moral disampaikan dengan cara yang menghibur.
Wayang golek
- -
Wayang golek
- -
Wayang golek
- -
Perbedaan mencolok dengan wayang kulit di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah bentuknya. Jika wayang kulit datar, wayang golek justru berbentuk boneka kayu tiga dimensi yang dianggap lebih dekat dengan selera masyarakat Sunda.
Dalam setiap pementasan, dalang memegang peran utama. Ia tidak hanya menggerakkan boneka, tetapi juga menjadi narator, pengisi suara tokoh, penyanyi sinden, sekaligus penyelip kritik sosial. Pada masa kolonial Belanda, wayang golek bahkan dijadikan media sindiran terhadap kebijakan penjajah.
Hingga era modern, popularitas wayang golek tetap bertahan. Dalang legendaris seperti Asep Sunandar Sunarya berhasil membawa kesenian ini ke panggung nasional hingga internasional. Inovasi lakon serta gaya pementasan yang dinamis membuat wayang golek diterima berbagai kalangan, termasuk generasi muda. Kini, wayang golek tidak hanya tampil dalam hajatan masyarakat, tetapi juga dalam festival budaya dunia. Keberadaannya menjadi bukti bahwa seni tradisional mampu beradaptasi tanpa kehilangan akar sejarahnya.