Curhat Peneliti Soal Penyakit Parasit Pada Komodo Hingga Status Hewan Langka
- Freepik
NTT, VIVABOGOR - Wisnu, peneliti yang pernah mempelajari penyakit parasit pada komodo menjelaskan lebih dalam mengenai gagasan one health one welfare,. Baginya, itu memadukan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan.
Pendekatan ini sangat penting demi jaga keberadaan komodo dimana dampak pariwisata yang berlebihan, pencemaran plastik, serta risiko penyakit zoonosis bisa merusak ekosistem. “Ketika lingkungan tercemar, hewan mangsa komodo seperti rusa dan kerbau juga akan terdampak, yang akhirnya akan memengaruhi rantai makanan komodo,” ucapnya.
“Untuk memastikan kesehatan manusia, maka komodo dan ekosistemnya juga harus terjaga kesehatan,” tegas Wisnu. Lanjutnya, strategi ini tidak hanya memiliki tujuan melindungi spesies, tetapi mencegah penyebaran penyakit antar spesies, sejalan dengan tujuan global seperti
Sustainable Development Goals (SDGs) untuk keberagaman hayati. Konservasi komodo sendiri suatu langkah holistik memelihara keseimbangan ekosistem, kesehatan masyarakat, serta warisan budaya Indonesia. “Nasib naga purba ini ada di tangan generasi sekarang dan yang akan datang,” tambah Prof. Wisnu.
Untuk mendukung upaya pelestarian, masyarakat diajak berkontribusi melalui donasi, advokasi, atau melakukan kunjungan wisata yang bertanggungjawab ke Taman Nasional Komodo.
Perlu diingat bahwa Pulau Komodo ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi tempat tinggal reptil purba terbesar yang masih ada, yaitu Varanus komodoensis. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), sejak tahun 2021 status spesies ini berubah menjadi terancam punah dan dicantumkan dalam Appendix I Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Terancam (CITES).
Dengan total populasi yang hanya sekitar 3. 300 ekor, upaya pelestarian komodo perlu kerjasama dari peneliti, pemerintah, warga setempat, dan generasi muda untuk memastikan kelangsungan hidup satwa ini. Ancaman utama berasal dari aktivitas manusia, kerusakan pada habitat, pemecahan habitat, penyakit zoonotik, dan faktor-faktor lain yang saling terkait. Konservasi yang efektif memerlukan pendekatan menyeluruh melalui konsep One Health-One Welfare, etno-konservasi dengan melibatkan komunitas lokal, serta pendidikan yang berkelanjutan.
Ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menekankan beberapa faktor yang jadi ancaman, strategi konservasi, dan pentingnya pendekatan one health one welfare. Aji Winarso, seorang mahasiswa doktoral di Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang sedang meneliti tentang komodo, menjelaskan, berbagai ancaman muncul dari berbagai sumber.
Aktivitas manusia jadi penyebab utama, yang diikuti kerusakan habitat akibat penebangan hutan dan pemecahan lahan. Selain itu, inbreeding atau perkawinan antar individu dekat berdampak pada berkurangnya keragaman genetik, dan persaingan pangan dengan manusia serta perubahan iklim semakin memperburuk kondisi.
Ancaman lain seperti perdagangan ilegal dan penyakit zoonotik yang dapat menular antara hewan dan manusia. "Upaya konservasi yang baik harus mengurangi interaksi antara satwa liar dan manusia. Komodo seharusnya tetap berada di habitat aslinya tanpa terlalu banyak didekati," tegas Aji yang dikutip pada Jumat, 26 September 2025.
Etno-Konservasi Masyarakat Lokal dalam Pelestarian Aji yang adalah seorang dokter hewan menyatakan bahwa pelestarian komodo tidak bisa dipisahkan dari partisipasi masyarakat setempat. Di Pulau Komodo, konsep etno-konservasi melihat komodo sebagai "saudara sepupu" manusia, yang mendorong perlindungan meskipun terkadang komodo mengganggu ternak.
"Prinsip ini mencegah eksploitasi alam hanya sebagai sumber pendapatan sambil memastikan kesejahteraan bagi masyarakat," ujarnya. Pendidikan dan pemberdayaan menjadi strategi utama untuk mengintegrasikan konservasi dengan pembangunan ekonomi lokal, seperti ekowisata berkelanjutan.
Pendekatan ini membangun kepercayaan melalui partisipasi masyarakat, yang sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang. Wisnu, sebagai peneliti yang pernah mempelajari penyakit parasit pada komodo, menyoroti risiko infeksi parasit, cacingan, serta penularan dari manusia yang dapat mengurangi jumlah populasi.
"Penyakit-penyakit ini tidak hanya melemahkan individu, tetapi juga dapat memengaruhi dinamika populasi secara keseluruhan," ujarnya. Ia juga menekankan adanya kesenjangan dalam penelitian di Indonesia.
"Publikasi terkait hewan langka seperti komodo sangat diminati di jurnal internasional, tetapi di dalam negeri, penelitian ini kurang diminati karena keterbatasan dana," jelas Wisnu. Menurutnya, perlu adanya peningkatan pendanaan untuk penelitian konservasi agar database ilmiah mengenai komodo dapat lebih kaya