Ernest Dezentjé, Pelukis Bogor yang Jadi Sahabat Dekat Bung Karno

Lukisan Panorama Gunung Salak Karya Ernest Dezentjé
Sumber :
  • simonis-buunk.com

Bogor, Viva Bogor – Tak banyak yang tahu, salah satu pelukis favorit Presiden Sukarno ternyata tinggal di Kota Bogor. Namanya Ernest Regnard Leonce Dezentjé seorang pelukis berdarah Belanda, Prancis dan Jawa.  

Patung Si Denok, Penunggu Abadi Istana Bogor yang Bikin Penasaran

Ia mungkin tidak setenar Affandi atau Basoeki Abdullah, tetapi bagi Bung Karno, Ernest Dezentjé adalah sahabat sekaligus pelukis istimewa. Karya-karyanya menghiasi dinding Istana Merdeka, Istana Bogor, hingga ruang-ruang koleksi pribadi sang proklamator.

Lahir di Jatinegara tahun 1885, Ernest Dezentjé bukan lulusan sekolah seni rupa Eropa. Ia belajar melukis secara otodidak di usianya yang ke 30 tahun. Kanvasnya penuh dengan panorama tropis Nusantara: sawah, gunung, sungai, kampung nelayan, semua dipotret lewat sapuan kuas yang lembut dan penuh cahaya.

Tatap Muka dengan Dunia Baru: Sunda dalam Catatan Awal Bangsa Eropa

Menurut buku The journey of Indonesian Painting: The Bentara Budaya Collection yang terbit tahun 2008, Ernest Dezentjè dikenal sebagai pelukis dengan aliran Mooi Indie, gaya yang menampilkan “keindahan Hindia” dengan warna yang teduh dan menenangkan. Gaya Mooi Indie memang sedang berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-19, sebagai salah satu sarana mempromosikan negeri jajahan sebagai daya tarik wisata. 

Sahabat Akrab Presiden Sukarno

 

Menapaki Gerbang Waktu di Istana Kepresidenan Bogor

Presiden Sukarno dan Ernest Dezentjé

Photo :
  • instagram.com/hendra.himawan

 

Di masa awal kemerdekaan, hubungan Ernest Dezentjé dengan Sukarno bukan sekadar pelukis dan kolektor. Mereka telah menjadi sahabat akrab yang berbagi cerita seni.

Menurut Dullah, pelukis realisme ternama Indonesia yang juga kurator seni rupa istana di era kepemimpinan Presiden Sukarno, Bung Karno kerap berkunjung ke rumah Ernest Dezentjé di kawasan Bondongan, Bogor. Bahkan di masa genting akibat agresi militer Belanda, Sukarno sempat menitipkan putra pertamanya, Guntur, di rumah sang pelukis. Kedekatan itu pula yang membuat lukisan-lukisan Ernest Dezentjé begitu dihargai.

Setelah agresi Belanda, Sukarno sampai memerintahkan pencarian khusus untuk menemukan kembali salah satu karyanya yang hilang dari istana.

Pameran Tunggal dan Jejak Karya

Meski dikenal sebagai sosok sederhana, Ernest Dezentjé aktif memamerkan karyanya di Batavia pada era 1930-an. Ia tercatat menggelar pameran tunggal di beberapa galeri bergengsi:

1. Kunstzaal Kolff & Co tahun 1936

2. Charls & Van Es tahun September 1937

3. Expositiezaal F. van Eelde tahun Desember 1939

Lewat pameran-pameran itu, publik Eropa di Hindia Belanda semakin mengenal sosoknya. Tidak sedikit pula karya Dezentjé yang kemudian masuk ke koleksi penting, termasuk di Tropenmuseum Amsterdam dan Museum Adam Malik Jakarta.

Ernest dan Kota Bogor

Bagi Ernest Dezentjé, Bogor bukan sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari perjalanan hidup dan cintanya. Salah satu lukisan terkenalnya tentang Bogor adalah Panorama Gunung Salak, seolah menjadi simbol kedekatannya dengan alam kota hujan itu. 

Takdir kemudian membawanya ke Kampung Muara, sebuah perkampungan sederhana tak jauh dari Empang, Pasir Jaya. Di bawah kampung itu, dua sungai besar Cisadane dan Cipinang Gading, bertemu, membentuk sebuah lubuk yang indah dan tenang. Seperti wilayah Bogor tempo dulu, Kampung Muara masih jarang penduduk. Rumah-rumah bambu beratap rumbia berdiri terpencar, menyisakan ruang-ruang luas di antara hamparan hijau.

Di kampung inilah Dezentjé menemukan tambatan hatinya: seorang gadis Sunda bernama Siti Rasmani. Cinta Dezentjé kepada Siti begitu besar, setulus cintanya pada Bogor. Rasa itu bahkan terekam abadi pada nisan istrinya yang bertuliskan: “Di sini dimakamkan istri saya yang tercinta, Siti Rasmani Dezentjé.”

Pasangan ini kemudian menetap di kawasan Bondongan, kini dikenal sebagai Jalan Pahlawan. Rumah yang dulu mereka tinggali kini telah berganti rupa menjadi kantor PT Bostinco. Meski tidak dikaruniai anak kandung, mereka mengangkat keponakan Siti bernama Satria Djupriyani sebagai anak. 

Di bawah bimbingan ayah angkatnya, Satria tumbuh dengan bakat seni yang serupa, meneruskan jejak Dezentjé sebagai pelukis Mooi Indie. Banyak pengamat seni kemudian menyebut Satria sebagai penerus spiritual sang maestro.

Akhir Hayat dan Warisan

Dezentjé meninggal pada 12 Januari 1972 di Jakarta. Namun sesuai keinginannya, ia berwasiat agar dimakamkan di Kampung Muara, tempat dimana jasad istrinya berada. Di sanalah sang maestro beristirahat, menyatu dengan bumi yang pernah mengilhami karya-karyanya.

Kini, meski namanya jarang disebut, lukisan-lukisan Ernest Dezentjé masih tergantung anggun di dinding istana negara. Ia meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu, wajah Nusantara yang ditangkap dengan cinta, sekaligus kisah persahabatan dengan seorang presiden RI yang juga mencintai seni.