Perempuan Dan Literasi : Peran Dari Buaian Hingga Era Digitalisasi Segala Lini

Perempuan Dan Literasi : Dari Buaian ke Era Digitalisasi Segala Lini
Sumber :
  • Yuni Retnowati

Bogor, VIVABogor – Kelekatan perempuan dan literasi bukan lagi menjadi sebuah wacana. Ia menggeliat dan terpampang di dinding sejarah yang tak bisu. Menjadi saksi dan memberikan tanda bahwa perempuan berada pada poros penting berputarnya roda literasi. Tidak hanya pada peradaban lisan, tapi juga tulisan. Sejarah mencatat bagaimana Aisyah RA, istri Nabi, sekian ribu tahun yang lalu telah memberikan warna kuat pada ilmu hukum melalui lebih dari dua ribu hadits yang ia tulis. Banyak kalangan kala itu baik laki-laki juga perempuan belajar padanya. Kita juga memiliki Kartini yang gigih membela hak-hak perempuan untuk tidak lagi buta aksara dan menjadi perempuan yang terdidik dan bermartabat. Dan masih banyak lagi perempuan-perempuan hebat yang berjibaku dalam kemajuan literasi hingga kini, di kancah nasional maupun dunia. 

Tak bisa dipungkiri bahwa tentu saja apapun peran perempuan akan melekat dan mengikuti fitrah yang ditetapkan Tuhan padanya. Termasuk perannya dalam literasi. Sebagaimana kita tahu, rahim perempuan adalah tempat utama di mana Tuhan tidak saja menitipkan ruh jiwa, tapi juga menitipkan kata-kata. Mengenalkan tentang sumber nilai paling tinggi dan kebaikan sejati. Janin dapat menunjukkan preferensi terhadap bahasa yang sering mereka dengar dalam kandungan, bahkan setelah lahir. Ini membuktikan bahwa proses belajar dan memori emosional sudah dimulai sejak dalam kandungan. Penelitian menunjukkan bahwa janin mulai dapat mendengar suara ibunya pada usia kehamilan sekitar 18-25 minggu. Suara ibu, termasuk intonasi dan irama bicaranya, adalah suara yang paling jelas didengar oleh janin. Bahkan, janin dapat belajar dan mengenali bahasa yang sering diucapkan oleh ibunya sejak dalam kandungan. Maka tak bisa disangkal bahwa peran pendidikan literasi oleh perempuan harus digagas sejak dalam buaian.

Sejak dulu, dongeng atau kisah dipercaya menjadi metode yang ampuh dalam membangun kesadaran dan sensitifitas terhadap nilai-nilai kebaikan, mencerdaskan nalar, mengasah empati, menggugah kesadaran, dan masih banyak lagi kekuatan dongeng atau kisah. “Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin” (QS Hud: 120). Membacakan kisah - kisah bermakna sangat baik bagi perkembangan anak tidak hanya sebagai penguat nilai pada diri anak tapi juga pembangun bonding. Dari sini kita bisa memulai literasi sejak dini.

Di era digitalisasi yang marak di semua lini kehidupan, selain ada kebaikan di dalamnya, tantangannya pun tidak kalah hebatnya. Kita seperti dihadapkan pada dua mata uang yang harus kita mainkan dengan cantiknya. Arus informasi tanpa batas ini akan memberikan manfaat jika yang diakses adalah konten positif dan sebaliknya. Ada kekhawatiran akan adanya penurunan kognitif pada anak yang populer disebut brain rot. Selain tak kalah seramnya pemberitaan tentang cyber crime yang korbannya adalah anak. Di samping itu, pola pendidikan kita yang belum ramah literasi juga membuat rapot PISA kita masih menjadi PR besar dari tahun ke tahun. 

PISA atau Programme for International Student Assessment, sebuah studi internasional yang menilai kualitas sistem pendidikan dengan mengukur hasil belajar yang esensial untuk berhasil di Abad ke-21, menyatakan hasil PISA tahun 2022, terkait literasi membaca, menunjukkan peringkat Indonesia naik 5 posisi dibandingkan tahun 2018. Kendati demikian, skor yang didapatkan menunjukkan penurunan dan Indonesia masih menduduki posisi 11 peringkat terbawah dari 81 negara yang didata. Banyaknya program literasi juga para pegiat dan pejuang literasi di penjuru pelosok negeri belum mampu membuat nilai rapor literasi kita naik kelas. Lalu bagaimana kita menghadapi keterpurukan literasi ini? 

Tentu saja perempuan bukan seseorang di ruang hampa yang harus menanggung sendiri tanggung jawab untuk menaikkan tingkat literasi bangsa ini. Ada elemen-elemen lainnya yang juga harus menjadi support system yang berkolaborasi memberikan andil. People do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as a result of lifelong personal and community effort. (Lickona, 1992). Manusia tidak secara alami atau spontan tumbuh menjadi orang yang bermoral baik atau menjadi bijaksana. Mereka bisa demikian hanya merupakan upaya seumur hidup individu dan masyarakat. Lalu apa yang bisa menjadi jembatan yang mengantar kita pada tujuan besar terwujudnya mimpi ini?

Penulis berkeyakinan bahwa peningkatan literasi bangsa ini bisa dilakukan salah satunya dengan meningkatkan pembekalan literasi pada perempuan (ibu). Karena literasi ibu mendampingi sejak seorang janin menetap di rahimnya sampai ia dilahirkan dan dibesarkan. Ibu juga diyakini sebagai penyumbang terbesar gen kecerdasan untuk anak. Peneliti Glasgow, Skotlandia, mengambil pendekatan yang lebih manusiawi untuk mengeksplorasi kecerdasan. Sejak 1994 dan dilakukan tiap tahunnya, peneliti mewawancarai 12.686 orang yang berusia 14 sampai 22 tahun. Hasilnya, tim peneliti menemukan prediktor kecerdasan terbaik adalah IQ dari gen sang ibu. Sudah selayaknya pemerintah mengambil peran ini dan menjadi garda terdepan yang memberikan fasilitas untuk peningkatan pemahaman literasi perempuan.