Perempuan Dan Literasi : Peran Dari Buaian Hingga Era Digitalisasi Segala Lini

Perempuan Dan Literasi : Dari Buaian ke Era Digitalisasi Segala Lini
Sumber :
  • Yuni Retnowati

Banyak cara untuk meningkatkan kemampuan literasi perempuan. Salah satunya, pemerintah bisa memberikan atau mewajibkan program literasi berbasis IT. Sebab, program berbasis IT saat ini dirasa paling praktis. Diketahui, manusia Indonesia sudah melek digital. Bahkan, pengguna gadget jumlahnya terus meningkat dari kalangan menengah ke atas sampai menengah ke bawah. Sebenarnya banyak edukasi yang bisa dilakukan pemerintah melalui digital. Tidak saja tentang literasi tetapi juga edukasi lainnya, misalnya tentang penyuluhan kebersihan, pengelolaan sampah, dan lain-lain. Tema-tema ini bisa mengalihkan perempuan dari program-program yang kurang bermanfaat di gadget-nya. Pelatihan-pelatihan menulis yang saat ini marak ditawarkan di platform online saja mampu menyusun materi-materi pelatihan secara rapi, baik bentuk ppt atau pdf di grup whatsapp, grup telegram, maupun zoom meeting, apalagi pemerintah yang seharusnya punya resource yang lebih banyak lagi. Pasti lebih bisa lagi menyajikan platform pendidikan literasi untuk warganya, khususnya perempuan. 

Diperbanyaknya jumlah perpustakaan tentu saja penting. Tetapi infrastruktur tidak akan termaksimalkan fungsinya tanpa kesadaran literasi yang baik pada warga. Menurut data yang ada, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Tapi tingkat literasi kita tak berbanding lurus dengan peningkatan infrastruktur literasi. Finlandia memiliki banyak perpustakaan umum dan universitas, serta perpustakaan keliling yang menjangkau daerah terpencil. Belanda memberikan formulir keanggotaan perpustakaan bahkan kepada bayi dan buku bacaan kepada keluarga baru. Swedia dan Australia juga memberikan buku kepada keluarga baru. Jepang memiliki kebiasaan unik seperti "tachi yomi" (membaca di toko buku) yang menunjukkan minat baca yang tinggi. Hal ini tenth karena pemerintahnya tidak hanya memberikan fasilitas, tapi juga menumbuhkan kesadaran warga pentingnya membaca.

Peran masyarakat sebagai agen perubahan juga memberi sumbangsih besar. Masyarakat yang baik akan menjadi extended family sesungguhnya bagi kenyamanan dan tumbuh kembang generasi penerus. Saat ini ada program pemerintah yang menurut penulis bisa dikolaborasikan dengan masyarakat. Salah satunya yaitu program Ruang Bersama Merah Putih dari kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Ini merupakan wadah atau tempat belajar di desa-desa dengan inisiatif lokalnya, seperti menggiatkan permainan tradisional, seni, dan budaya, hingga pemberdayaan perempuan. Akan ada juga bantuan buku dan penayangan film-film tentang pahlawan nasional. Untuk para ibu akan ada pelatihan-pelatihan ketrampilan juga bantuan usaha. Dengan memberdayakan masyarakat untuk bersama menghidupkan program ini, maka penulis yakin ini bisa jadi salah satu alternatif bersama solusi menjauhi efek brain rot di era digital. 

Membangun iklim membaca di mana pun juga seharusnya menjadi hal yang tidak sekedar diwacanakan. Orang tua yang membaca akan membuka peluang menghasilkan anak-anak yang membaca. Guru yang membaca akan memotivasi murid membaca. Pejabat yang membaca akan memberikan apresiasi pada warga yang membaca. Dan seterusnya. Sebuah iklim bersama sangat penting diciptakan agar upaya menghidupkan literasi makin kondusif. Apalagi jika lebih jauh negara bisa berperan memberikan apresiasi kepada para penggiat literasi yang mungkin nasibnya sedikit terpinggirkan. Dalam kondisi sulit saja mereka masih berkarya dan membina komunitas-komunitas literasi, apalagi jika mereka diberikan dukungan baik materi maupun moral. Negeri ini berhutang budi pada para guru yang keringatnya ikut menyegarkan tumbuh suburnya peradaban.

Tak ada yang akan dimulai jika kesadaran kita tidak beranjak untuk memberi tanda pada perubahan. Negara besar akan memulai langkah dengan membesarkan pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah undang-undang yang dititipkan pada bangsa ini. Bukan hanya mencerdaskan bangsa, tapi mencerdaskan kehidupannya. Arti yang luas ini harus dimaknai sebagai memberikan ruang hidup di segala sisi baik yang bersifat materi maupun non materi agar keseimbangan peradaban bisa kita capai. Literasi bukan sekedar peradaban kata, ia adalah poros yang membangun rasa dan karsa.