Kasepuhan Cigoong, Penjaga Tradisi Sunda Buhun di Tengah Arus Modernisasi
Bogor, VIVA Bogor - Di tengah derasnya arus modernisasi, Kasepuhan Cigoong di Desa Puraseda, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, masih teguh menjaga warisan leluhur. Komunitas adat Sunda ini berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap lunturnya identitas budaya, sekaligus menjadi ruang pelestarian adat, spiritualitas, dan kearifan lokal masyarakat Sunda buhun (lama).
Menurut penuturan warga adat, Kasepuhan Cigoong berawal dari leluhur yang mengungsi ke pedalaman Bogor akibat tekanan kolonialisme dan perubahan tatanan kerajaan di tanah Pasundan. Tokoh yang diyakini sebagai pendiri adalah Eyang Dapung, seorang figur karismatik yang membawa ajaran hidup selaras dengan alam, sesama, dan leluhur.
Dipimpin Abah Sarji, Generasi Kelima
Hingga kini, Kasepuhan Cigoong tetap mempertahankan struktur adat yang diwariskan secara turun-temurun. Saat ini, kasepuhan dipimpin oleh Abah Sarji, keturunan kelima dari garis leluhur. Ia dikenal sebagai sosok sederhana, teguh memegang nilai adat, sekaligus mampu menjembatani hubungan antara komunitas adat, pemerintah, dan masyarakat luar.
Di bawah kepemimpinannya, Kasepuhan Cigoong aktif dalam kegiatan budaya, spiritual, dan pelestarian lingkungan. Salah satu agenda terbesar yang rutin digelar adalah upacara adat Seren Taun.
Seren Taun menjadi tradisi utama masyarakat kasepuhan sebagai wujud syukur atas hasil panen, sekaligus doa untuk musim tanam berikutnya. Prosesi ini ditandai dengan arak-arakan dongdang berisi hasil bumi, pertunjukan wayang golek, pencak silat, hingga ritual adat penuh nilai spiritual.
Selain sebagai ungkapan syukur, Seren Taun juga menjadi ruang konsolidasi budaya. Generasi muda dilibatkan untuk mengenal dan mencintai akar tradisi mereka agar nilai-nilai budaya tetap terjaga lintas generasi.
Selain tradisi budaya, Kasepuhan Cigoong juga menjaga hutan adat yang diyakini sebagai titipan leluhur sekaligus bagian dari ekosistem sakral. Prinsip yang dipegang adalah “Ngajaga, Ngariksa, jeung Ngaraksa” — menjaga, merawat, dan melindungi alam. Nilai ini diwariskan secara lisan melalui cerita, ritual, dan praktik sehari-hari.
Meski berakar kuat pada adat, Kasepuhan Cigoong tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman. Dengan keseimbangan antara tradisi dan modernitas, kasepuhan ini menjadi contoh penting pelestarian budaya lokal di era globalisasi.
Diharapkan, keberadaan Kasepuhan Cigoong dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai identitas budaya, sekaligus menjadikan kearifan lokal sebagai fondasi dalam membangun masa depan yang berkelanjutan
Bogor, VIVA Bogor - Di tengah derasnya arus modernisasi, Kasepuhan Cigoong di Desa Puraseda, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, masih teguh menjaga warisan leluhur. Komunitas adat Sunda ini berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap lunturnya identitas budaya, sekaligus menjadi ruang pelestarian adat, spiritualitas, dan kearifan lokal masyarakat Sunda buhun (lama).
Menurut penuturan warga adat, Kasepuhan Cigoong berawal dari leluhur yang mengungsi ke pedalaman Bogor akibat tekanan kolonialisme dan perubahan tatanan kerajaan di tanah Pasundan. Tokoh yang diyakini sebagai pendiri adalah Eyang Dapung, seorang figur karismatik yang membawa ajaran hidup selaras dengan alam, sesama, dan leluhur.
Dipimpin Abah Sarji, Generasi Kelima
Hingga kini, Kasepuhan Cigoong tetap mempertahankan struktur adat yang diwariskan secara turun-temurun. Saat ini, kasepuhan dipimpin oleh Abah Sarji, keturunan kelima dari garis leluhur. Ia dikenal sebagai sosok sederhana, teguh memegang nilai adat, sekaligus mampu menjembatani hubungan antara komunitas adat, pemerintah, dan masyarakat luar.
Di bawah kepemimpinannya, Kasepuhan Cigoong aktif dalam kegiatan budaya, spiritual, dan pelestarian lingkungan. Salah satu agenda terbesar yang rutin digelar adalah upacara adat Seren Taun.
Seren Taun menjadi tradisi utama masyarakat kasepuhan sebagai wujud syukur atas hasil panen, sekaligus doa untuk musim tanam berikutnya. Prosesi ini ditandai dengan arak-arakan dongdang berisi hasil bumi, pertunjukan wayang golek, pencak silat, hingga ritual adat penuh nilai spiritual.
Selain sebagai ungkapan syukur, Seren Taun juga menjadi ruang konsolidasi budaya. Generasi muda dilibatkan untuk mengenal dan mencintai akar tradisi mereka agar nilai-nilai budaya tetap terjaga lintas generasi.
Selain tradisi budaya, Kasepuhan Cigoong juga menjaga hutan adat yang diyakini sebagai titipan leluhur sekaligus bagian dari ekosistem sakral. Prinsip yang dipegang adalah “Ngajaga, Ngariksa, jeung Ngaraksa” — menjaga, merawat, dan melindungi alam. Nilai ini diwariskan secara lisan melalui cerita, ritual, dan praktik sehari-hari.
Meski berakar kuat pada adat, Kasepuhan Cigoong tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman. Dengan keseimbangan antara tradisi dan modernitas, kasepuhan ini menjadi contoh penting pelestarian budaya lokal di era globalisasi.
Diharapkan, keberadaan Kasepuhan Cigoong dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai identitas budaya, sekaligus menjadikan kearifan lokal sebagai fondasi dalam membangun masa depan yang berkelanjutan