Diella & AI Penguin: Saat Robot Jadi Pemimpin, Apa Kata Islam?

Ilustrasi Robot AI jadi pemimpin.
Sumber :
  • AI Generated / Dok. AI via Gemini

Bogor, VIVA Bogor – Dunia politik internasional tengah dihebohkan dengan hadirnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di kursi kepemimpinan. Albania resmi memperkenalkan Diella, sistem AI yang ditunjuk sebagai “menteri” untuk urusan teknologi dan pengadaan publik. Sementara di Jepang, sebuah partai politik kecil menjadikan AI dengan julukan AI Penguin sebagai ketua partai.

Apple Luncurkan iPhone 17 Secara Global: Revolusi Desain dan Performa yang Ditunggu-tunggu

Fenomena ini langsung memicu perdebatan: apakah mesin boleh menjadi pemimpin? Lalu, bagaimana Islam memandang peran AI di ranah politik?

 

AI Jadi Menteri di Albania dan Ketua Partai di Jepang

Mengapa Manusia Diciptakan Sebagai Pemimpin, Meski AI Lebih Cerdas?

Perdana Menteri Albania, Edi Rama, memperkenalkan Diella di sidang parlemen pertengahan September 2025. Tujuannya, mengurangi intervensi politik dalam pengadaan barang-jasa dan meningkatkan transparansi. Meski begitu, banyak pihak menilai langkah ini menimbulkan pertanyaan soal konstitusi, akuntabilitas, hingga etika kepemimpinan.

Di Jepang, partai Path to Rebirth memilih AI sebagai ketua setelah pemilu mengecewakan. AI yang dijuluki AI Penguin ini dianggap mampu membantu strategi partai. Meski masih sebatas simbolis, langkah ini menandai babak baru keterlibatan mesin dalam politik dunia.

Dua Kakek di Ciampea Bogor Diciduk, Diduga Cabuli Anak di Bawah Umur dengan Iming-iming Rp5.000

 

Pandangan Islam: Kepemimpinan Adalah Amanah Manusia

Dalam ajaran Islam, kepemimpinan bukan sekadar soal kecerdasan teknis. Pemimpin adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil” (QS. An-Nisā’ [4]: 58).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim).

Artinya, seorang pemimpin harus memiliki niat, iman, akhlak, dan hikmah. Sifat-sifat ini jelas tidak dimiliki AI. Mesin tidak punya hati nurani, tidak bisa berniat, dan tidak akan dimintai hisab di akhirat.

 

AI Hanya Boleh Jadi Alat Bantu

Para ulama menegaskan, AI boleh dipakai sebagai alat bantu administratif dan analisis data. Misalnya untuk mempercepat layanan publik, mengelola arsip, atau memberi rekomendasi kebijakan. Namun, keputusan akhir tetap harus berada di tangan manusia.

Tanpa pengawasan manusia, AI berpotensi salah arah, bias, bahkan merugikan masyarakat. Inilah mengapa Islam menolak AI sebagai pemimpin penuh, meski teknologi ini bisa membantu pemimpin menjalankan tugas dengan lebih efisien.

 

Khalifah: Pesan Abadi untuk Manusia

Fenomena Diella di Albania dan AI Penguin di Jepang menunjukkan dunia sedang bereksperimen dengan teknologi dalam politik. Namun, Islam menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah manusia, bukan mesin. AI boleh membantu, tetapi pemimpin sejati harus tetap manusia yang beriman, berakhlak, dan siap bertanggung jawab.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Allah berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:30).

Ayat ini menegaskan bahwa sejak awal penciptaan, manusia ditunjuk sebagai khalifah di bumi, pemegang amanah, pembawa nilai moral, dan penegak keadilan. Maka sehebat apa pun AI, posisi khalifah tetap hanya milik manusia. Kepemimpinan bukan sekadar urusan teknis, melainkan ibadah dan tanggung jawab besar di hadapan Allah. Wallaahu'alam.