Jaga Konsistensi Capaian UHC, Pemkot Bogor Perkuat Validitas Data dan Anggaran
- Istimewa
Bogor, VIVA BOGOR - Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor tengah menghadapi tantangan baru dalam menjaga keberlanjutan capaian Universal Health Coverage (UHC), meski persentase kepesertaan jaminan kesehatan di kota ini masih tergolong tinggi.
Berdasarkan data per 1 November 2025, capaian UHC Kota Bogor mencapai 98,76 persen, dengan tingkat keaktifan peserta sebesar 80,02 persen.Namun, angka tersebut mengalami sedikit penurunan akibat penonaktifan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan oleh Kementerian Sosial, karena tidak terdata dalam Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) atau masuk kategori desil 6.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Denny Mulyadi, mengatakan kondisi ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah karena dapat berdampak langsung pada status UHC Non Cut Off.
“Jika status Non Cut Off tidak dapat kita pertahankan, warga miskin yang menunggak iuran berpotensi terkendala mengakses layanan kesehatan karena kepesertaan tidak bisa langsung aktif,” jelas Denny dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Tim Percepatan UHC Kota Bogor, di Gedung Dinas Kesehatan Kota Bogor, Kamis (13/11/2025).
Menurut Denny, sejumlah faktor turut mempengaruhi stabilitas capaian UHC di Kota Bogor, di antaranya pemutakhiran data DTSEN, meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak pada segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan mandiri, serta belum optimalnya implementasi Instruksi Wali Kota terkait optimalisasi Program JKN.
Selain itu, perbedaan persepsi dalam penilaian kemiskinan antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat turut menjadi hambatan dalam memastikan penerima manfaat benar-benar tepat sasaran.
“Tantangan ini menuntut adanya strategi pembiayaan yang lebih inovatif, agar program jaminan kesehatan dapat terus menjangkau masyarakat miskin tanpa terganggu oleh keterbatasan anggaran,” ujarnya.
Denny menegaskan, Pemkot Bogor tetap berkomitmen mempertahankan capaian UHC di atas 98 persen dan memastikan keaktifan peserta minimal 80 persen secara berkelanjutan. Ia juga menekankan pentingnya validitas data sebagai dasar pengambilan kebijakan.
“Data yang akurat akan menentukan keberhasilan kebijakan. Semakin tepat datanya, semakin tepat pula arah program jaminan kesehatan kita,” tandasnya.