Cinta Nabi Tak Diukur dari Rp50 Ribu: Meneladani Akhlak Rasulullah SAW dalam Kehidupan Sehari-Hari

Ilustrasi Suasana Maulid Nabi
Sumber :
  • AI Generated / Dok. AI via Gemini

Bogor, VIVA Bogor – Mengukur Cinta Rasulullah dengan Akhlak, Bukan Nominal Sumbangan “Cinta Nabi bukan soal iuran Rp50 ribu.” Kalimat sederhana ini menohok ketika peringatan Maulid Nabi sering diwarnai tarik-menarik iuran warga.

SDN Cibeureum 4 Kota Bogor Gelar Peringatan Maulid Nabi, Angkat Tema Keteladanan Rasulullah

Padahal, hakikat memperingati kelahiran Rasulullah SAW bukan pada besarnya sumbangan, melainkan seberapa jauh kita meneladani akhlaknya.

Setiap tahun, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini lahir dari rasa cinta dan kerinduan kepada sosok mulia yang membawa cahaya Islam. Tujuannya jelas: menumbuhkan semangat meneladani akhlak Rasulullah, memperkuat iman, dan menyebarkan kebaikan.

Sindang Barang, Desa Adat yang Menjaga Budaya Sunda di Tanah Bogor

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Kesepuhan Malasari, Penjaga Tradisi Adat di Jantung Halimun

 

Maulid Nabi yang Bergeser Jadi Formalitas

Di lapangan, tak jarang Maulid Nabi berubah menjadi acara seremonial yang lebih menonjolkan kemeriahan daripada esensinya. Iuran pun ditetapkan dengan angka tertentu, misalnya Rp50.000–Rp100.000 per keluarga hanya untuk konsumsi.

Yang tidak ikut menyumbang kadang merasa tersisih, bahkan mendapat ucapan menyinggung seperti:

  • “Setahun sekali masa tidak bisa nyumbang?”
  • “Kalau tidak nyumbang berarti tidak cinta Nabi.”

Padahal, kondisi setiap orang berbeda. Menyamakan kewajiban iuran tanpa mempertimbangkan keadaan justru melahirkan tekanan sosial. Alih-alih bahagia, peringatan Maulid terasa membebani.

 

Rasulullah SAW: Teladan Kesederhanaan

Rasulullah SAW hidup dengan penuh kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar hingga berbekas di tubuhnya. Bahkan ketika ditawarkan gunung emas oleh Malaikat Jibril, Rasulullah menolak. Beliau lebih memilih hidup sederhana agar tetap dekat dengan umatnya dan mengajarkan arti syukur.

Inilah bukti bahwa cinta Nabi tidak diukur dari besar-kecilnya pemberian, melainkan dari ketulusan hati dan ketakwaan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan olehnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Kembali ke Spirit Asli Maulid Nabi

Hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mempersulit urusan agama. Peringatan Maulid seharusnya diisi dengan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti:

  • Dzikir dan shalawat.
  • Kajian ilmu agama.
  • Aksi nyata berbagi kepada sesama.

Kalau pun ada makan-makan, biarlah sederhana. Bisa dengan gotong royong atau sedekah sukarela. Lebih indah lagi jika perayaan Maulid diwarnai dengan:

  • Santunan anak yatim.
  • Bantuan kepada fakir miskin.
  • Berbagi makanan gratis untuk masyarakat.

 

Maulid Nabi: Bukan Seremoni, Tapi Refleksi

Pada akhirnya, Maulid Nabi Muhammad SAW akan bermakna bila menjadi ajang refleksi, bukan sekadar seremoni. Bukan hanya bicara cinta Nabi di lisan, tapi benar-benar meneladani beliau dalam sikap sehari-hari.

Karena cinta sejati kepada Rasulullah SAW bukan diukur dari besarnya iuran, melainkan sejauh mana kita mencontoh akhlak beliau dalam kehidupan.

 

Kesimpulan: Meneladani Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari

Semoga setiap peringatan Maulid Nabi menghadirkan kedamaian, mempererat persaudaraan, dan menumbuhkan semangat untuk meneladani Rasulullah SAW dalam keseharian kita.

Cinta Nabi yang sejati adalah ketika kita menjadikan beliau sebagai teladan dalam:

  • Kesederhanaan hidup.
  • Keikhlasan beribadah.
  • Kepedulian sosial.
  • Akhlak mulia dalam setiap interaksi.

Dengan begitu, Maulid Nabi tidak lagi menjadi beban iuran, melainkan sumber inspirasi untuk hidup lebih baik.