Pangeran Walangsungsang: Putra Prabu Siliwangi yang Jadi Cikal Bakal Kesultanan Cirebon
Bogor, VIVA Bogor - Nama Pangeran Walangsungsang (dikenal juga sebagai Ki Somadullah, Haji Abdullah Iman, Pangeran Cakrabuana, atau Embah Kuwu Sangkan) tercatat sebagai tokoh penting dalam sejarah Nusantara. Ia adalah putra Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyi Subang Larang, sekaligus kakak dari Nyai Mas Rara Santang dan Pangeran Raja Sagara.
Ketiga anak ini diyakini sebagai pendiri awal Caruban Nagari, cikal bakal Kota Cirebon.
Menurut Naskah Mertasinga, Walangsungsang meninggalkan istana Pajajaran karena kecewa terhadap perlakuan ayahnya kepada sang ibu. Bersama adiknya, Rara Santang, ia kemudian mengembara hingga akhirnya menetap dan membangun pedukuhan yang kelak berkembang menjadi Cirebon.
Dalam perjalanan hidupnya, Walangsungsang menikah dengan dua perempuan. Dari pernikahannya dengan Nyimas Indang Geulis, lahir Putri Pakungwati yang kelak dipersunting oleh Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Wali Songo. Dari keturunannya inilah kemudian terbentuk dinasti penting dalam sejarah Kesultanan Cirebon.
Walangsungsang menggantikan Ki Gede Alang-Alang sebagai Kuwu Cirebon. Ia memproklamirkan wilayah itu sebagai Caruban Nagari sekaligus melebur beberapa nagari sekitarnya, antara lain Singapura, Surantaka, Wanagiri, dan Japura, ke dalam kekuasaan Cirebon.
Sejak saat itu, ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Cakrabuana. Pada masa pemerintahannya, kekuasaan Cirebon membentang luas: di barat berbatasan dengan Cimanuk (Indramayu), di selatan dengan Rajagaluh (Majalengka), Saunggalah (Kuningan), Dayeuhluhur, dan Pasirluhur (Cilacap–Banyumas), di timur dengan Paguhan (Tegal–Pemalang), dan di utara dengan Laut Jawa. Pelabuhan utama yang digunakan adalah Muara Jati, yang kelak menjadi pusat perdagangan penting di pesisir utara Jawa.
Meski telah berkembang pesat, Cakrabuana tetap berkuasa di bawah naungan Kerajaan Galuh. Ia rutin mengirimkan upeti tahunan (bulubekti) kepada Raja Galuh, yang tak lain adalah kakeknya, Dewa Niskala.
Dewa Niskala kemudian mengirim utusan resmi ke Cirebon untuk melantik Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Utusan itu dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dan Raden Kian Santang, adik kandung Walangsungsang. Sejak saat itu, Kian Santang menetap di Cirebon untuk mendampingi kakaknya.
Kiprah Walangsungsang menjadi fondasi lahirnya Kesultanan Cirebon yang kemudian berkembang sebagai salah satu pusat Islam di tanah Jawa. Melalui keturunannya, khususnya lewat Putri Pakungwati dan Sunan Gunung Jati, pengaruh Cirebon semakin meluas hingga menjadi kerajaan maritim dan pusat penyebaran agama Islam di Nusantara
Bogor, VIVA Bogor - Nama Pangeran Walangsungsang (dikenal juga sebagai Ki Somadullah, Haji Abdullah Iman, Pangeran Cakrabuana, atau Embah Kuwu Sangkan) tercatat sebagai tokoh penting dalam sejarah Nusantara. Ia adalah putra Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyi Subang Larang, sekaligus kakak dari Nyai Mas Rara Santang dan Pangeran Raja Sagara.
Ketiga anak ini diyakini sebagai pendiri awal Caruban Nagari, cikal bakal Kota Cirebon.
Menurut Naskah Mertasinga, Walangsungsang meninggalkan istana Pajajaran karena kecewa terhadap perlakuan ayahnya kepada sang ibu. Bersama adiknya, Rara Santang, ia kemudian mengembara hingga akhirnya menetap dan membangun pedukuhan yang kelak berkembang menjadi Cirebon.
Dalam perjalanan hidupnya, Walangsungsang menikah dengan dua perempuan. Dari pernikahannya dengan Nyimas Indang Geulis, lahir Putri Pakungwati yang kelak dipersunting oleh Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Wali Songo. Dari keturunannya inilah kemudian terbentuk dinasti penting dalam sejarah Kesultanan Cirebon.
Walangsungsang menggantikan Ki Gede Alang-Alang sebagai Kuwu Cirebon. Ia memproklamirkan wilayah itu sebagai Caruban Nagari sekaligus melebur beberapa nagari sekitarnya, antara lain Singapura, Surantaka, Wanagiri, dan Japura, ke dalam kekuasaan Cirebon.
Sejak saat itu, ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Cakrabuana. Pada masa pemerintahannya, kekuasaan Cirebon membentang luas: di barat berbatasan dengan Cimanuk (Indramayu), di selatan dengan Rajagaluh (Majalengka), Saunggalah (Kuningan), Dayeuhluhur, dan Pasirluhur (Cilacap–Banyumas), di timur dengan Paguhan (Tegal–Pemalang), dan di utara dengan Laut Jawa. Pelabuhan utama yang digunakan adalah Muara Jati, yang kelak menjadi pusat perdagangan penting di pesisir utara Jawa.
Meski telah berkembang pesat, Cakrabuana tetap berkuasa di bawah naungan Kerajaan Galuh. Ia rutin mengirimkan upeti tahunan (bulubekti) kepada Raja Galuh, yang tak lain adalah kakeknya, Dewa Niskala.
Dewa Niskala kemudian mengirim utusan resmi ke Cirebon untuk melantik Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Utusan itu dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dan Raden Kian Santang, adik kandung Walangsungsang. Sejak saat itu, Kian Santang menetap di Cirebon untuk mendampingi kakaknya.
Kiprah Walangsungsang menjadi fondasi lahirnya Kesultanan Cirebon yang kemudian berkembang sebagai salah satu pusat Islam di tanah Jawa. Melalui keturunannya, khususnya lewat Putri Pakungwati dan Sunan Gunung Jati, pengaruh Cirebon semakin meluas hingga menjadi kerajaan maritim dan pusat penyebaran agama Islam di Nusantara