Dibungkam Orde Baru: Inilah Deretan Buku Sejarah G30S PKI yang Tak Boleh Dibaca

Peristiwa Sejarah G30S PKI
Sumber :
  • Wikimedia commons/Dalleas

Jakarta, VIVA Bogor – Peristiwa G30S PKI merupakan tragedi sejarah yang hingga kini masih meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Kejadian tersebut bukan hanya mengguncang situasi politik, tetapi juga menimbulkan kontroversi panjang yang sulit dihapus dari ingatan kolektif rakyat.

Topik ini tetap sensitif untuk dibicarakan. G30S PKI menjadi titik balik di mana ruang berekspresi mulai dibatasi dan perkembangan literasi diawasi ketat. Pasca tragedi itu, pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memegang kendali penuh atas narasi sejarah.

Pemerintah melarang beredarnya buku-buku yang dianggap tidak sejalan dengan Pancasila atau menimbulkan tafsir alternatif atas peristiwa 1965. Larangan tersebut berdampak luas, khususnya pada karya-karya yang beraliran kiri atau dianggap berpotensi memengaruhi cara pandang generasi muda terhadap pemerintah.

Buku Sejarah yang Dilarang Pasca G30S PKI

1. Buku Karya Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer dikenal luas sebagai salah satu sastrawan terbesar Indonesia. Sepanjang hidupnya, ia menulis lebih dari 50 karya yang kemudian diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Lahir di Blora pada 1925 dari keluarga guru yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan, sejak remaja Pramoedya sudah terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ia pernah bergabung dalam kelompok militer dan ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Aktivitas politiknya membuat ia beberapa kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda.

Salah satu karya terkenalnya adalah Jejak Langkah, yang ditulis saat ia menjadi tahanan politik di Pulau Buru pada masa Orde Baru. Meski tidak secara langsung menyinggung peristiwa G30S PKI, novel ini memuat tema-tema sensitif seperti perjuangan nasional, ketidakadilan, dan represi politik. Keterkaitannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang dianggap dekat dengan PKI, membuat karya-karyanya distigma oleh rezim Orde Baru.

Karya lain yang juga dilarang adalah Bumi Manusia, novel pertama dari Tetralogi Buru. Buku ini mengisahkan Minke, seorang pribumi yang hidup pada masa kolonial Belanda, dengan cerita yang sarat kritik sosial: diskriminasi, ketidakadilan, dan perjuangan hak asasi manusia. Karena dianggap berpotensi menumbuhkan sikap kritis terhadap kekuasaan, Pramoedya dan karya-karyanya dicap berbahaya. Pemerintah Orde Baru kemudian melarang novel-novelnya beredar di masyarakat. 

 

2. Buku Karya John Roosa 

John Roosa menulis Dalih Pembunuhan Massal: G30S PKI dan Kudeta Soeharto, sebuah buku yang dinilai sangat kontroversial. Dalam karyanya, ia menyajikan bukti dokumenter yang menunjukkan bahwa G30S PKI tidak sepenuhnya merupakan konspirasi PKI, melainkan juga melibatkan konflik internal di tubuh Angkatan Darat. Buku ini dilarang beredar karena narasinya bertentangan dengan versi resmi pemerintah Orde Baru, serta mengkritisi keterlibatan militer dalam kudeta dan pembantaian massal setelah peristiwa 1965.

3. Buku Karya T.H. Lim

Buku berjudul Dua Wajah Dipa Nusantara merupakan biografi D.N. Aidit, tokoh utama PKI. Buku karya T.H. Lim ini menggambarkan Aidit sebagai figur politik cerdas sekaligus kontroversial. Namun, pemerintah Orde Baru menganggap isi buku ini berpotensi menumbuhkan simpati terhadap Aidit dan ideologinya. Karena itulah, buku ini dilarang beredar di Indonesia.

4. Buku Karya John D Legge

Buku karya John D Legge satu ini berjudul Sukarno, Sebuah Biografi Politik, bercerita tentang karier politik Sukarno sebagai Presiden Pertama Indonesia. John D. Legge menggambarkan kompleksitas hubungan Sukarno, militer, dan PKI dalam pusaran politik kala itu. Orde Baru melarang buku ini karena isinya dianggap meruntuhkan citra resmi Sukarno yang dilindungi negara, sekaligus membuka kembali perdebatan politik yang sensitif.

5. Buku Karya Ribka Tjiptaning

Buku berjudul Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning menjadi buku yang dilarang Orde Baru. Ribka Trjiptaning merupakan politisi PDI-P sekaligus putri seorang anggota PKI, buku ini bercerita tentang pengalaman pribadi dan diskriminasi yang dialami keluarganya pasca 1965.

Karya ini kontroversial karena memberikan sudut pandang berbeda: kisah kemanusiaan dari mereka yang distigma sebagai musuh negara. Pemerintah melarangnya karena dianggap berpotensi menimbulkan polemik baru.

6. Buku Karya Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia

Buku ini lahir dari perlawanan mahasiswa UI terhadap rezim Orde Baru, berjudul Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Isinya menyoroti praktik otoritarianisme, pengekangan kebebasan berekspresi, serta penyalahgunaan kekuasaan pada masa itu. Pemerintah menganggap karya ini sebagai dokumen subversif, karena dapat mendorong gerakan perlawanan di kalangan generasi muda.

7. Buku Karya Choirul Anam

Benturan NU-PKI 1948-1965 karya Choirul Anam mengangkat ketegangan panjang antara Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI, baik dalam aspek ideologi maupun konflik fisik di pedesaan Jawa. buku ini dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru karena mengisahkan benturan yang berujung pada tragedi pembantaian massal. Alasan lain dari dilarangnya buku ini adalah bisa menimbulkan perpecahan baru di masyarakat.

Larangan terhadap buku-buku tersebut menunjukkan bagaimana Orde Baru mengontrol wacana sejarah. Literatur yang dianggap bertentangan dengan narasi resmi dibatasi peredarannya, sehingga generasi muda hanya mendapat satu versi kebenaran.

Kini, sebagian dari karya-karya tersebut sudah bisa diakses kembali, menjadi pengingat bahwa sejarah selalu memiliki banyak sisi yang patut dikaji secara kritis.