Jangan Bilang ‘Mereka Kurang Usaha’! Begini Cara Jujur Mengajarkan Kemiskinan Struktural pada Anak
- freepik.com/jcomp
Bogor, VIVA Bogor – Sebagai orang tua, mungkin kita pernah mendengar pertanyaan polos dari anak seperti: “Mah, Pah… kenapa ada anak yang nggak bisa makan?” “Kenapa teman di luar sana nggak bisa sekolah seperti aku?”
Pertanyaan sederhana itu sebenarnya mengandung makna yang dalam, bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi juga ajakan bagi kita untuk berpikir kritis. Sayangnya, sering kali kita menjawab dengan jawaban umum seperti, “Ya, mereka harus lebih rajin,” atau “Yang kaya sebaiknya berbagi.” Padahal, persoalan kemiskinan tidak sesederhana itu.
Indonesia dan Akar Kemiskinan Struktural
Menurut Bank Dunia, pada tahun 2024 sekitar 60,3% atau 171,8 juta jiwa penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan jika diukur dengan standar global. Sedangkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa penduduk miskin per September 2024. Perbedaan angka ini kerap memicu perdebatan. Mengapa hasil Bank Dunia dan BPS begitu berbeda?
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa keduanya tidak saling bertentangan, karena menggunakan standar pengukuran yang berbeda. Bank Dunia menggunakan tiga garis kemiskinan global berdasarkan purchasing power parity (PPP), yaitu:
1. US$ 2,15 per kapita per hari untuk kemiskinan ekstrem.
2. US$ 3,65 per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah bawah.
3. US$ 6,85 per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah atas.
Dengan standar tertinggi inilah angka kemiskinan Indonesia mencapai 60,3%. Namun, standar ini bukan mencerminkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia secara spesifik.
Bank Dunia sendiri menyarankan agar setiap negara tetap memiliki garis kemiskinan nasional sesuai kondisi sosial dan ekonominya. Meskipun Indonesia kini tergolong negara berpendapatan menengah atas, posisi kita masih di batas bawah kategori tersebut, artinya, banyak masyarakat yang masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Mengapa Kemiskinan Struktural Terjadi?
Kemiskinan struktural bukanlah kemiskinan karena kemalasan individu, melainkan karena struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan tempat tinggal layak masih timpang di banyak daerah. Akibatnya, banyak keluarga yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan antar generasi, atau yang sering disebut sandwich generation. Akar masalahnya terletak pada ketimpangan kebijakan publik dan sistem ekonomi yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil.