Tepuk Sakinah : Dari Bahan Candaan Netizen Hingga Doa Yang Tertinggal

Tepuk Sakinah : Dari Bahan Candaan Netizen Hingga Doa Yang Tertinggal
Sumber :
  • Yuni Retnowati

Bogor, VIVA Bogor – Akhir-akhir ini tren tepuk sakinah viral di media sosial. Tren itu berawal dari video yel-yel yang dibuat akun instagram resmi Kantor Urusan Agama atau KUA Menteng, Jakarta Pusat, @kua_menteng. Tren ini menyebar cepat dan diikuti banyak KUA di seluruh Indonesia.

 

Dari kalangan gen Z menanggapi dan mengatakan ini kuno dan 'garing'. Bahkan beberapa pihak menjadikan tepuk sakinah ini konten lucu-lucuan, juga ada yang mengganti liriknya. Kalangan gen Z yang seharusnya adalah usia memantapkan hati untuk menikah justru menganggap tepuk sakinah ini tidak relevan dijadikan sebentuk sarana kecil bimbingan perkawinan.

 

Dari pihak KUA sendiri menjelaskan bahwa isi tepuk ini adalah lima pilar keluarga sakinah yang mengandung banyak arti. Yang pertama, ada yang namanya zawaj atau berpasangan. Yang kedua, mitsaqan ghaliza atau janji yang kokoh. Yang ketiga adalah mu’asyarah bil ma’ruf atau saling berbuat baik,” dia menjelaskan.

 

Selanjutnya, dalam tepuk sakinah juga disebutkan saling cinta, saling hormat, dan saling jaga. Poin keempat dalam pilar keluarga sakinah ialah musyawarah. Yang terakhir, taradhin atau saling rida.

 

Dari artinya, penulis yakin kita semua setuju kalau ini adalah hal baik. Tidak ada hal munkar di sini, apalagi berpotensi merusak. KUA pun tentu ingin ada banyak terobosan untuk melakukan edukasi perkawinan mengingat tingkat perceraian di hampir semua wilayah yang terus meningkat. Paling tidak ini adalah hal yang paling sederhana dan ringan yang mungkin akan mudah diingat para pasangan saat suatu ketika dalam perkawinan terjadi konflik atau ujian lainnya. Baik pasangan baru, maupun pasangan lama yang juga ikut hadir dalam perkawinan dapat mengambil sisi baik dari pesan ini.

 

Awalnya saya cukup penasaran dengan iramanya. Lalu saya putar berulang. Sekilas memang terdengar seperti lagu anak saya saat duduk di bangku TK. Yang bergembira ria sambil bertepuk. Sehingga mungkin diharapkan calon pengantin tidak tegang menghadapi proses akad. Tapi netizen kembali mencecar mengapa janji suci dihadirkan tepuk yang terkesan tidak sakral. 

 

Kepala Biro Humas Kemenag, Thobib Al Asyhar mengklarifikasi, tepuk sakinah bukanlah materi wajib hafal bagi calon pengantin. Hal ini disampaikannya melalui akun Instagram @kemenag_ri. Ini hanya ice breaking dalam pelatihan bimbingan perkawinan. Agar ada hal penting yang mudah diingat pasangan dengan kemasan tepuk yang sederhana. Yang pasti sakral bukan masalah ada tepuk dan tidak ada tepuk, tapi bagaimana individu pasangan yang akan menikah benar-benar mempunyai itikad baik saat ingin beribadah menggenapkan separuh dien. Apalagi tepuk ini tidak dilakukan saat akad, tapi saat bimbingan perkawinan.

 

Tentu saja kita ingin menjadikan pernikahan bukan sesuatu yang menakutkan seperti banyak diungkap gen Z, "Marry Is Scarry". Ada juga yang bilang, "Pernikahan itu berat, kok ada tepuknya". Justru karena berat dan pasangan pengantin pasti mengetahui hal ini maka KUA berusaha memberikan tips singkat yang bisa diingat pasangan agar mereka bisa berlayar hingga ke tujuan, sebelum mereka mendengar petuah yang panjang. 

 

Saya jadi teringat firman Allah, wa qul linnāsi husnā, katakanlah yang baik kepada manusia. Tetapi di zaman digital ini, kebaikan sering kalah cepat dibanding komentar. Lidah sudah berubah menjadi keyboard. Fitnah lisan bermigrasi menjadi fitnah komentar. Hal yang kecil berubah menjadi gunung, yang sederhana menjadi rumit, kebaikan menjadi guyonan dan cercaan. Bukankah dengan tepuk pula anak-anak kita mulai mengenal bagaimana menghapal doa di sekolah dan mushola, menghapal rukun Islam, rukun iman dan lainnya. 

 

Kita memang tidak tahu ke mana arah angin algoritma. Di era digital yang semua berdasar views, komentar sering kali seadanya dan sekenanya. Kita berharap menjadikan kebaikan tetap menjadi kebaikan. Jika formatnya tak mengarah pada  hal haram, mengapa justru memicu perpecahan. Konten baik yang tak habis dibicarakan dan dihujat di grup keluarga, sekolah, RT, dll ini harusnya menjadi sarana membangun kesadaran. Ini lebih baik dari sekedar konten joget perempuan setengah telanjang di media sosial.

 

Semoga ke depan kita menjadi bangsa yang dewasa dalam literasi. Memahami esensi tanpa meributkan format dan kemasan yang tidak munkar. Dari lubuk yang paling dalam, mungkin banyak harapan dan doa yang tertinggal lebih dari yang bisa diucapkan dari  penghulu dan para pengurus KUA. Kita tentu tak berharap tugas mereka hanya membubuhkan tanda tangan dan menjadi saksi perkawinan semata. Tapi peran mendidik yang saat ini sudah mereka pikirkan inovasinya.